English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate by Google ( UBLO 7 )

Sabtu, 23 Februari 2013

Juminten

Juminten menghapus nama Paino dari daftar nama yang ada di Hp-nya. Perasaannya campur aduk, antara sedih, bahagia dan dendam menyatu, mengkristal membentuk bongkahan batu yang siap dilontarkan ke dahi lelaki itu. Tapi itu sudah berlalu. Ketika muncul nama Parman, ia kembali merengut. Hm…yang ini juga harus kuhapus dari daftar nama di Hp-ku, dia banyak menyusahkan. Andai saja dia berkata jujur mengatakan belum beristri, mungkin aku akan memaafkannya. Sayang dia pembual. 

Lalu gadis berwajah kemayu itu kembali mencari nama-nama yang pernah ia akrabi. Matanya tajam, setajam sinar mentari pagi yang menyoroti ubun-ubunnya. Tatapannya tertumbuk pada satu nama yang membuatnya merinding, meriang, dan membuat debar di dadanya meletup-letup. Jika laki-laki itu ada di hadapannya, ingin Juminten menusuk perut lelaki itu hingga ususnya terburai-burai. 

***

Senja di tapal batas desa Legoksari, Juminten merapikan dagangan emaknya. Mereka membuka lapak pecel dadakan dan makanan ringan lainnya bila warga desa panen padi. Hari ini, Pak Kartono, orang yang termasuk kaya di desanya, memanen padi dari sawah yang luasnya hampir satu hektar. Hampir sebagian ibu-ibu di kampungnya dikerahkan untuk ikut ambil bagian, mereka akan memperoleh upah sepuluh kilo padi dan uang sebesar sepuluh ribu rupiah usai memanen. Upah yang lumayan buat ukuran desanya. Juminten ingin ikut, emaknya pun punya keinginan yang sama. Namun, sang emak mau sekalian jualan. Siapa tahu untungnya berlipat ganda, begitu pikirnya. 

“Sudah habis dagangan Emakmu, Jum?” tanya Parjo, pemuda desa yang bekerja sebagai centeng pak Kartono. 

Juminten melirik sekilas. Melihat kumis baplang Parjo yang melintang
mirip bulan sabit, membuat Juminten kesal bukan kepalang. Sudah berbulan-bulan pemuda tak tahu diri ini menggodanya. Dan Juminten berkali-kali pula tidak mengacuhkannya.

“Kamu kok tidak menyahut saat kutanya?”

“Apa urusanmu? Mau menyahut atau tidak, itu urusanku. Kok kamu repot sekali?” Ketus suara Juminten terdengar.

Parjo merah padam. Ia menyimpan rasa kesal di hatinya. 
Senja semakin meredup, guratan merah bercampur oranye di langit, perlahan-lahan mulai beringsut berubah menjadi hitam keabu-abuan. Malam sebentar lagi turun. Satu-persatu penduduk desa Legoksari mulai meninggalkan sawah. Juminten mencari-cari wajah emaknya. Namun perempuan paruh baya itu seakan lenyap di balik rerimbunan pohon tebu yang tumbuh berselang-seling di areal persawahan. Gadis berwajah manis berusia enam belas tahun dengan tubuh mulai merekah, ranum dan padat itu, perlahan-lahan memasukkan dagangan ke dalam bakul rotan milik emaknya. Hampir seluruh makanan yang dijual emaknya ludes terbeli. Yang tersisa hanya beberapa ketupat dan sedikit sayuran, makanan itu akan dibawanya pulang untuk makan malam dia, Yudi adiknya, emak dan bapaknya.

Perasaan Juminten mulai was-was. Waktu hampir menujukkan pukul enam sore, Juminten gelisah emaknya belum juga tiba. Tadi emak hanya bilang akan pergi beberapa menit saja untuk mengambil sepuluh kilo gabah dan upah hari itu yang dijanjikan pak Kartono. Namun beberapa menit berlalu, sang emak belum juga tiba. Juminten cemas. Ia tak bisa meninggalkan emaknya begitu saja. Perlahan, gadis berwajah khas Jawa ini berjalan menyusuri pematang menuju ke tempat pembagian gabah. Tiba di sana, ia terkejut, keadaan amat sepi. Para ibu pemetik padi sudah tak terlihat. Lalu, di mana emaknya? Juminten berdebar, kemudian dengan suara lantang ia berseru memanggil nama emaknya. Suaranya bergema di seputar persawahan. Berkali-kali gema suara gadis itu terdengar susul menyusul. Hingga akhirnya, sebuah tangan kokoh, kuat bersarung tangan dari kulit membekap mulutnya. Dan Juminten dalam sekejap tidak sadarkan diri. 

***

“Jangan katakan ini yang terakhir kalinya. Kalau tidak, kau mau menerima tamparanku lagi?” Parjo memandangi bibir yang penuh darah itu tanpa rasa iba sedikit pun. Perempuan yang sebagian wajahnya membiru itu, menghapus bekas darah dengan punggung tangannya. Sikapnya penuh kesan menantang, sorot kebencian terpancar kuat dari matanya.

“Heh, sekali lagi kukatakan, jangan kau pelototi aku seperti itu. Malam ini kau harus menjalankan tugasmu!” ujar Parjo dengan urat-urat menonjol di lehernya. 
Juminten membisu. Di luar kamar hotel kelas melati itu, seorang pria bertubuh gempal berambut cepak, berdehem beberapa kali. Selanjutnya ia mengetuk pintu kamar itu dengan keras. “Kenapa lama sekali?” tanyanya. “Kalau tidak, kudobrak kamar ini!”

“Cepat, hapus bekas darah yang ada di bibirmu itu. Ambil bedak sana, tutupi wajahmu yang membiru!”

Juminten berdiri. Dengkulnya lemas, matanya berkunang-kunang. Ia hampir saja jatuh. Ketika pria berambut cepak itu masuk ke kamar tempatnya menginap, padangannya kabur, selanjutnya ia tak ingat apa-apa lagi. Malam yang laknat penuh onak dan duri, hampir seluruhnya berwajah kelam. Guratan hitam yang menaungi jalinan hidup Juminten ke depannya, membuat gadis itu seolah tak berharga lagi. Ia bagai hidup di titik nol. Hilang sudah semua kebanggaan masa remaja yang pernah dimilikinya. Parjo merampasnya tanpa sisa. Batang-batang pohon tebu menjadi saksi betapa di balik bulir-bulir tanaman padi yang kosong itu, kemanusiaan Juminten dirampas dengan beringas oleh lelaki yang dikenalnya sejak ia masih kecil. Tanpa belas kasihan, laki-laki itu mengoyak, menghujamkan derita yang amat pahit baginya. Juminten meradang, ia menangis dan terus menangis. Namun nista itu telah membelengu seluruh ruang geraknya. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Parjo telah menguasainya.

***

Peristiwa pahit itu terus membayang. Pematang sawah yang sepi, di antara sisa-sisa pohon padi, Parjo membekap mulut Juminten. Gadis dengan tubuh ranum itu tak bisa berkutik ketika tinju yang kuat dari kepalan tangan Parjo melayang ke wajahnya. Senja menjelang malam yang sunyi, di tengah teriakan tikus-tikus sawah dan bunyi jengkerik serta kodok, Parjo melaksanakan niat busuknya. Pada malam jahanam itu, Juminten merasakan kesakitan yang luar biasa, laki-laki itu mengubah dirinya menjadi perempuan tak bermakna. Ia kehilangan segalanya, ia kehilangan kegadisan yang baru dijalaninya selama beberapa tahun. Parjo merampas semuanya tanpa sisa, ia merampasnya dengan penuh paksaan. 

“Kau sudah jadi miliku, jika kau berkoar-koar di desamu, maka nyawamu akan lenyap dari muka bumi ini. Awas, jangan adukan semua ini pada Ibumu, juga pada keluargamu yang lain!” ancam laki-laki bertubuh gempal itu.
Juminten meradang. Sejak itu perputaran hidupnya dikuasai Parjo. Ketika emaknya kebingungan melihat sang puteri pamitan hendak ke kota, perempuan tua ini tak punya kekuatan apa-apa lagi untuk melarangnya. Satu-satunya alasan yang masuk di akalnya adalah, tatkala Juminten berkata, “Mak, aku akan bekerja di kota. Setiap bulan Emak akan kukirimi uang. Emak nanti bisa membeli kalung cincin, anting-anting dan gigi emas.” Janji itu memang ditepati. Tapi emaknya tetap tidak mengerti darimana Juminten memeroleh uang. 
***

Seminggu setelah hasil pemerikasaan laboratorium itu keluar, Juminten duduk melamun di kamarnya yang sempit. Sebuah lagu berirama dangdut yang dinyanyikan Iis Dahlia, keluar dari tape kecil yang ada di sudut ruangan, mengiringi lamunannya yang merambah entah kemana. Kemarin Parjo datang lagi, dengan ancaman ia berkata, “Besok ada tauke China yang hendak mengontrakmu selama seminggu. Dia bayar mahal karena kubilang kau masih perawan. Ingat, jangan cerita apa-apa pada tauke China itu. Dan ingat sekali lagi, uang yang dibayarnya padamu, harus kau serahkan seutuhnya. Nanti aku yang akan membagikannya padamu. Aku tahu jika kau catut! Tauke itu sudah memberitahuku jumlah uang yang akan dibayarkannya padamu. Jangan kecewakan dia, berikan servis yang memuaskan. Hasil operasian dokter bedah plastik untuk menjadikan kau perawan lagi, sudah kering, kan? Aku yakin sudah. Kau tak perlu ragu, kini kau memang perawan ting-ting lagi. Nanti, gigi Ibumu bisa kau tambal semuanya dengan emas biar semakin bersinar!”

Gigi Juminten gemelutuk. Dendam kesumat kini kian memenuhi hampir seluruh bagian tubuhnya. Sesungguhnya ia tak mau lagi melayani siapa pun malam ini atau malam-malam yang akan datang. Tak ada operasi selaput dara seperti yang diinginkan Parjo, semua terhapus oleh hasil pemeriksaan laboratorium di puskemas terdekat tatkala ia merasa tubuhnya demam tinggi.

“Anda terinfeksi HIV. Belum ada obat yang ampuh untuk menyembuhkan penyakit ini. Lambat laun, kekebalan dalam tubuh anda akan hilang. Anda akan menderita AIDS. Anda tahu apa itu AIDS?” tanya dokter puskesmas yang memeriksanya. 
“Pernah mendengarnya, penyakit itu secara perlahan bisa membuat seseorang meninggal.” Jawab Juminten.

“Ya, dan penularannya bisa didapatkan melalui hubungan seksual dan jarum suntik. Mulai sekarang, berhentilah dari pekerjaan Anda, jangan menularkan penyakit ini ke orang lain. Kembalilah ke jalan yang benar, dekatlah dengan Tuhan, bertobatlah, atau kalau kau masih mau menjalankan pekerjaanmu, gunakan kondom!” saran sang dokter.

Juminten termenung.

“Ingat, jangan lupa nanti malam. Nih uang untukmu malam ini!” Parjo melemparkan beberapa lembar lima puluh ribuan. Ia meninggalkan kamar Juminten tanpa senyum. 

Akankah kutularkan penyakit ini pada Tauke tua yang tak bersalah itu? Juminten bertanya dalam hati. Jarum jam berdetak semakin cepat. Begitu juga jantungnya. Gelap malam akan segera turun. Tauke itu akan mengetuk pintu kamarnya, lalu membawa ia ke mobil, mengajaknya ke sebuah hotel berbintang satu, dua, tiga, empat atau lima. Di sana akan ia tularkan seluruh bongkahan virus-virus HIV pada sang Tauke. Gemuruh di dada Juminten bertalu-talu. Ia dengan cepat menyusun alasan yang pasti agar malam ini, bencana itu tidak terjadi. Dan untungnya Tauke ini mau menerimanya.

“Hayaa…tak apa-apalah…tak apa apalah…tiga atau empat hali Oe tunggu. Yang penting elu masih pelawan…” katanya. Sang tauke bagai melihat seorang budak belian pada Juminten. Ia memandang gadis desa itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, seakan-akan hendak melahapnya hidup-hidup. 

Juminten menunduk. Rona wajahnya memerah, ia bagai gadis hijau yang baru pertama bertemu lelaki. Sesungguhnya, bukan itu yang ada di benaknya. Gabungan perasaan dendam, terhina dan tak bermartabat, membucah di dadanya. Semua itu harus ia akhiri malam ini. Ya, malam saat ia menunggu kedatangan Parjo ke kamar kontrakannya.

“Lho, mengapa kamu nggak jadi melayani itu Tauke? Kamu tahu dia sudah menyiapkan uang banyak? Hah, kamu ini tolol sekali Jum. Kalau dia pergi begaimana?”

“Dia janji mau datang tiga hari lagi.”

“Jum…Jum…iya kalau dia datang. Kalau tidak? Huh, kamu memang benar-benar tak tahu diuntung. Kamu bohong, kan bilang sedang menstruasi padanya?”

“Iya. Aku lagi malas saja melayani kakek-kakek!”

“Apa? Plak!” tangan Parjo melayang mengenai pipi Juminten. Gadis itu terjengkang ke belakang. Juminten ingin mejelaskan semuanya pada laki-laki itu. Tapi diurungkannya niatnya. Kemudian, dengan menahan sakit ia berusaha berdiri. Tapi Parjo kembali menendangnya. Dan untuk kedua kalinya gadis itu terjengkang. 

“Ingat, jangan sekali-sekali kamu berani melawanku. Hidupmu ada di tanganku. Kamu tidak punya hak lagi atas tubuhmu. Setiap inci dari tubuhmu adalah milikku. Ingat milikku! Besok kamu layani Tauke itu. Tidak ada alasan lagi!” bentak Parjo. 

“Aku tidak mau!”

Parjo terdiam. Ia memandang Juminten dingin. Wajahnya yang garang berubah mirip pembunuh sadis yang tak memiliki belas kasihan. Maka sebelum Parjo memukulnya lagi, Juminten telah siaga. Malam itu, bulan berwarna merah saga. Kamar Juminten penuh darah. Di seprai, di bantal, di kasur, di lantai, semuanya berwarna merah. Juminten menatap nanar semuanya. Ya, semua potongan tubuh parjo telah disusunnya dengan rapi di dalam sebuah kardus bekas pembungkus televisi yang dibelinya beberapa waktu yang lalu.

Tiga hari kemudian, ketika Tauke itu datang ke kamar kontrakannya, Juminten menemuinya dengan sopan. “Maaf, Tauke, saya tidak bisa melayani Tauke. Saya…”

“Hayaaa…apa lagi ini, lu sakit lagi?”

“Iya Tauke…“

“Hayaa sakit apa?”

“AIDS!”

Sang Tauke langsung pucat. 

Juminten tersenyum. Ia keluar dari kamar kontrakannya, pulang kampung dengan membawa oleh-oleh sebuah kardus besar. Di perjalanan, ketika bis yang ditumpanginya melewati sebuah jembatan gantung, ia meminta kenek bis untuk membuang kardus itu ke jurang yang ada di bawahnya.

“Isinya kardus ini apa, Mbak?” tanya si kenek.

“Isinya? Segala hal yang jahat!”

Bis melaju dengan kecepatan sedang. Juminten menatap Hp-nya, kemudian menghapus nama Parjo yang tertera di situ. Selesai sudah…gumamnya lega. Matanya memandang ke luar jendela, memandang hamparan sawah yang membentang luas. Lamat-lamat, ia melihat siluet tubuh ibunya. Perempuan itu melambai-lambaikan tangannya. Mata Juminten kian kabur. Ketika siluet itu lenyap, matanya terkatup rapat, di sudut mata mengambang titik-titik air mata yang siap jatuh ke pipi. Juminten menarik nafas, Ibu maafkan aku, desahnya terbata-bata…

Depok, Desember Gerimis 2010
(Pernah Dimuat di Bali Post)
Oleh: Fanny Jonathans Poyk (https://www.facebook.com/fannyjonathans.poyk )

Menunggu Kentut Semar

Semar masih mesem-mesem. Dielusnya perut bundarnya yang kian besar. Seminggu dia menahan sakit sebab tak bisa kentut. Angin berputar-putar tak bisa keluar. Nyerinya menusuk saraf di otak. Tak heran sepekan ini perilakunya ganjil. Dia mau menceritakan penderitaannya itu kepada anak-anaknya. Namun dia malu dan tahu, bercerita pun, tetap tak ada solusi. Sebab anak-anaknya tengah sibuk merancang revolusi.

“Romo, kenapa? Belakangan kok terlihat aneh?” tanya Petruk. Namun Semar hanya bungkam, wajahnya merah. Sambil terus berusaha keras mengejan-kejan.

Di biliknya, pria bersusu itu kembali mengejan. Segenap tenaganya dikerahkan untuk mengeluarkan angin busuk yang sudah sepekan tak kunjung keluar.

“Stt.. jangan ganggu, Romo sedang tapa”
“Tapa apa Reng? Apa beliau sedang meramu kentut baru?”
“Iya aku kira memang begitu. Perang semakin dekat. Tentu Romo tengah menyiapkan formula baru untuk meracuni para Korawa,” timpal Bagong.

Percakapan ketiga punakawan sayup-sayup didengar Semar. Dia ingin murka, karena ketiga anaknya tak mengerti penderitaannya. Tapi bila dia murka, tentu dia punya alasan. Dan bila alasan itu dikemukakan, betapa sedih hati anak-anaknya yang ikut berjuang di bawah kibaran panji Pandawa. Sebab tentu akan melemahkan semangat juang. Tapi yang paling utama adalah, saat ini Semar tak bisa murka, sebab sepekan dia tak bisa kentut. Barang se-jumput.

Siang itu di bale-bale rumahnya, Semar mengasoh, dan tetap sambil terus mengejan. Muncul Petruk, Gareng dan Bagong. Ketiga tokoh tak penting itu melengkapi ketidakpentingan Semar dalam Baratayudha. Sambil cekikikan ketiga anaknya itu berbaris teratur menghampiri Romonya yang sedang terkapar menahan angin putar.

“Sudah tha? Seperti yang kubilang, untuk memenangkan perang ini, tak perlu menumpahkan darah. Kita masih punya Semar. Selagi masih ada Semar tak mungkin dunia berhenti berputar karena orang serakah dan tak penyabar,” kata Gareng.

“Samar, kowe bicara apa tha Reng?Ndak penting!” Tanya Petruk.
“Lha iya. Bukannya kita tak mau ikut bertempur kakang, tapi buat apa bertempur? Korawa dan Pandawa, serupa tapi tak sama. Siapapun pemenangnya kita tetap abdi istana,”
“Berubah pikiran? Kowe ndak setia dengan cita-cita Reng”
“Setia itu musti masuk akal tha Kang?apalagi setelah tadi aku mendengar pembicaraan antara Arjuna dan Krisna. Ini betul-betul nggak masuk akal,” ujar Gareng. Bagong sampai saat itu hanya mendengar dengan baik perbincangan saudaranya.

“Seluruh tentara dan senjata paling canggih sudah diimpor. Tegal Kuruk Setra sudah dipesan untuk dijadikan arena pertempuran. Terus, alasan mereka bertempur cuma karena masalah sepele, masalah harga diri…ini kan nggak masuk akal. Kalau tadi bertempur untuk perluasan daerah atau kepentingan ekonomi, itu baru masuk akalku. Para tokoh penting itu malah berpikir untuk berperang justru karena hal-hal yang nggak penting. Duh rek, jadi pusing e,”

“Yang ndak penting itu, misalnya, perang karena sinar matahari tak rata dibagi. Itu Reng,” debat Petruk. “Justru harga diri itu yang penting. Lagi pula ndak perlu kowe ikut-ikut mumet, toh perang ini tetap akan dilangsungkan, tempat sudah dipesan. Pusing nda pusing, pokoknya perang!”

“Ya ndak bisa, kalau ini mengganjal pikiranku, aku takut nanti pikiranku ini menjadikan kesetiaanku menjadi tanggung. Apa kata dunia, kalau setia cuma setengah-setengah. Harus masuk akal lah,”

“Sudah, masuk atau tidak di akal, kita tetap menang, masih ada kentut Semar. Nuklir paling dahsyat yang pernah diciptakan, masih kalah dahsyat dengan kentut Romo, betul kan Romo?” potong Bagong sambil mengalihkan pembicaraan kepada Semar yang masih mesem-mesem.

“Betul, biar seluruh umat manusia kentut disaat bersamaan dan mengeluarkan aroma dan suara beraneka warna, tetap tak bisa mengalahkan kentut jagoan kita,” kata Petruk.
“Edan, tapi Korawa punya Adipati Karna, Cakranya-pun tak terkalahkan, bahkan oleh kesaktian Krisna!” Bagong cemas.
“Saktian mana Krisna atau kentut Semar? Hayo…?”

Ketiga anak Semar terkekeh. Kekehnya kurang lebih seperti para aktor yang memerankan mereka dalam setiap panggung yang mementaskan kisah tak penting dan terkesan mengulur-ulur waktu, menanti kehadiran tokoh utama.

Tiba-tiba Semar bangkit dari duduknya. Berdiri dengan siaga. Tiba-tiba juga Petruk, Gareng dan Bagong berhenti tergelak. Berdiri dan ikut siaga.

“Ada apa Romo? Kok?” tanya Petruk.
“Dia mau datang…”kata Semar merasakan kehadiran sesuatu.
“Siapa Romo?”
“Dia…”
“Kanjeng Krisna, Romo?”

Semar diam patung. Ketiga punakawan lain berbaris kaku celingukan, mengedarkan mata, awas dengan kehadiran Krisna.

“Dia datang! Tak salah lagi… Awas, sembunyilah…” perintah Semar pada ketiga puteranya, sambil mendem mesem.
“Hah, Krisna datang, kowe sih Truk… guyonnya bawa-bawa nama Krisna,” gerutu Gareng sambil sibuk mencari persembunyian. Ketiganya berlarian bertabrakan.
“Jangan di sana!” perintah Semar ketika melihat tiga punakawan sembunyi di balik pendaringan.
“Aman kok Romo, di sini tak mungkit terlihat,” jawab Bagong.
“Jauh.. lebih jauh lagi…”

Ketiga punakawan kembali berlarian, kembali bertabrakan. Kemudian mereka memutuskan untuk nyemplung ke dasar perigi.

“Hei, bukan di sana, lebih jauh lagi… cepat dia datang…”
“Aduh biyung… kemana yang amannya Romo?”
“Yang paling aman. Aku mau kentut!”
“Walah dalah.. Romo mau kentut ya? Jangan sekarang Romo. Ditahan dulu. Yang sabar, perangnya empat hari lagi. Tulung… jangan sekarang!” rengek ketiga anaknya sambil mendekat.
“Menjauh kalian!” perintah Semar. Ketiganya kembali berlarian.. kembali bertabrakan. Tiba-tiba mata Semar gelap. Rembes matahari tak lagi dilihatnya. Dia pingsan. Semar pingsan!
“Kowe sih Truk, pakai melarang-larang. Kentut itu ‘kan kehendak alam. Keluar nanti atau sekarang sama saja,” Gareng menyalahkan Petruk. Sementara Bagong terus mengipas-kipas jelmaan Batara Narada itu agar siuman dari tidurnya.

“Kowe ndak ngerti, kalau kentutnya keluar sekarang, berarti akan mengurangi kadar kebusukannya. Artinya, aroma yang harusnya mampu melawan cakra Adipati Karna, jadi tak bisa mengalahkan. Kowe mau Hastina terus diduduki para Korawa?”
“Sudah berhenti ributnya. Romo sudah dua hari pingsan. Dan dua hari lagi perang akan diselanggarakan,” potong Bagong.
“Kowe sih Reng, jangan anggap perang itu nggak penting bagi orang nggak penting seperti kita. Perang itu penting. Dan kentut Semar lah yang bisa memenangkan perang tanding!”
“Semprul kowe, memang Petruk kebelet jadi raja! Kalau pun menang, kowe tetap pengasuh kuda istana, jangan harap jadi raja!”
“Awas, tak clurit kowe…” kata Petruk bangkit. Gareng pun bangkit dan siap balik kanan. Menghindari murka sang kakak.
“Ndak punya perasaan, keterlaluan! Aku sekarat, malah mau bunuh-bunuhan!” Semar sadar dia duduk bersandar.
“Reng, Truk, Semar sadar!” Seru Bangong.
“Berhenti dulu, nanti tak pites kowe.”

Dikisahkan dalam setiap lakon punakawan. Kentut semar adalah kentut paling dahsyat yang tak bisa disamakan oleh siapapun. Aroma tak terlihat namun terasa menyengat itu mampu menidurkan isi alam raya. Oleh karena itu, kentut ajaib hanya bisa dimiliki oleh orang besar dan sabar seperti Semar. Karena Semar adalah mahluk yang selalu berdiri di tengah. Berparas lelaki, namun memiliki susu bak perempuan. Berjambul dan berpantat besar. Jarinya selalu mengacung ke atas, tanda dia sepakat untuk selalu berada di dalam kebenaran. Dan kebenaran hanya ada ada di tengah. Tidak di dalam, tidak di luar, tidak di atas tidak di bawah. Tidak pula di kanan atau di kiri. Atau di depan dan belakang. Oleh itu Semar menjadi samar. Oleh karena dia samar, maka segala kebusukan berkumpul kepadanya dan kemudian dia keluarkan untuk menciptakan kebaikan. Dewa-dewa cukup adil menempatkan Semar dalam samar kebenaran. Tapi sekarang Semar cemas. Dia tak bisa kentut. Bukan untuk menciptakan kebaikan semesta alam. Tapi demi kesehatan dirinya pribadi. Oh Dewa, apa yang terjadi pada Super Semar?

Dua hari lagi perang besar akan dilangsungkan. Dimana Bisma akan mengiringi laju Korawa ke Kuruk Setra dan Krisna akan menjadi sais kereta perang Arjuna. Tapi perang tak kan semarak tanpa kehadiran Semar. Terlebih pada kentutnya yang mampu membuat seluruh professr terlihat bodoh dan aktifis lingkungan merasa tak berguna.

“Ayolah Romo, kita ke Pandita Drona. Tak apa-apa menyeberang asal untuk menang,” bujuk Petruk.
“Begitu pun, begitulah, Romo mesti sehat. Biar kebenaran menang dan mengelakkan korban jiwa jatuh lebih banyak. Romo mesti kentut sebelum tabuh perang didentangkan,”
“Ayolah Romo, segalanya halal, demi kebenaran!” bujuk Bagong.
“Semprul kowe semua! Aku nggak bisa kentut. Jangan dipaksa! Aku sendiri sudah memaksakannya! Tapi dia tak mau keluar juga! Mengerti kah kalian semua?”

“Sendiko Romo,” serempak anaknya menjawab dan menundukkan wajah.

“Dan kalau pun aku pergi ke Pandita Drona, itu bukan berarti aku mendukung Korawa untuk memenangkan Pandawa. Nggak Penting! Sungguh nggak penting itu! Yang penting adalah kesehatan. Karena kesehatan sebagian dari iman. Nggak ada urusan dengan politik atau kekuasaan. Hanya orang beriman yang bisa menempatkan kebenaran dalam atau di luar kekuasaan. Bawel, kalian semua bawel!”

Sakitnya tak tertahankan lagi. Maka pada malam itu juga Semar dan ketiga anaknya sepakat untuk minta pertolongan Drona, manusia paling licik dan picik dalam babat Baratayudha. Pangkal sekaligus muara perang saudara.

Dengan mengendap-endap, keempatnya berhasil masuk menyusup ke tenda Pandita Drona.
“Begitulah ceritanya. Jadi tolong Romo, Pandita,” ujar Bagong menutup ceritanya.

Drona termangu sambil tertawa menang di dalam hati.

“Akhirnya doaku selama ini dijawab Dewa. Semar tak bisa kentut dan itu artinya Pandawa kurang amunisi dalam perang ini” batin Drona.
“Baiklah. Aku buatkan ramuan mujarab, sekadar Semar bisa mengeluarkan angin putar. Tapi aku tak yakin, apakah ada efek samping dari ramuanku ini,”ujar Drona.
“Maksudnya?”
“Aku tak yakin, apakah kentut Semar bisa kembali pada sebelumnya,” ujar Drona.
“Ayo Pandita. Kembali atau tidak kepada semula, yang penting aku bisa kentut. Aku tak berpikir soal perang Korawa atau Pandawa. Ini jujur, Semar tak pernah berdusta,” ujar Semar memelas, sambil terus memegangi perutnya.
“Sebentar aku ambilkan ramuannya,”

Sepeninggal Drona, ketiga anak Semar berpolemik.

“Romo egois, mikirin diri sendiri daripada kehendak alam semesta,” ujar Gareng.
“Romo pro Status Quo, berpikir persis seperti kaum republikan,” ujar Petruk.
“Romo segera menjadi Semar Cemar, karena tak menjaga kesucian hati dan meminta demi kesehatan pribadi,” Bagong mengulas.

Semar mendem. Sambil merem, Semar mendem.

Empat puluh hari perang berkecamuk. Ribuan wira gugur, termasuk Drona. Sebagai penutup, Bima berhasil membantai Duryudana yang bersembunyi di dasar sebuah tegal.

Empat puluh hari perang berkelebat hebat. Tak ada perang seagung Baratayudha. Yang melahirkan sejumlah anmuerta. Tak ada perang sesadis Baratayudha yang telah memenggal darah daging berkeping-keping, binasa membinasa. Tak ada perang seindah Baratayudha yang telah menginspirasikan ribuan seniman untuk menghasilkan karya. Empat puluh hari. Dan Semar? Sampai perang ditutup dia tak kunjung kentut. Seperti dalam lakonnya Drona, sekali culas tetap culas. Drona memberikan ramuan palsu dengan harapan memenangkan peperangan. Faktanya adalah, Semar tak bisa ikut perang, karena dia mendem terus mengejan.

Tapi begitu pula lah, seperti lakonnya dalam segala pementasan, Semar tetap tak penting. Karena dia samar, maka dia tak dipentingkan. Namun dalam babat lain yang luput dari babat manapun yang pernah ditulis. Kelak segalanya akan jadi penting. Semar mendem. Dan di tahun 2012, dia akan kentut. Hollywood paham soal itu, namun keliru dalam menerjemahkan dan membaui kentut Semar. Tapi bagaimana pun lakonnya, itu tak penting. Sungguh tak penting.

Binjai, 6 Desember 2009
Oleh: Hujan Tarigan

Sandiwara Bandit

Kota siaga. Penyerangan sebuah markas polisi di barat laut oleh kelompok bandit meningkatkan kewaspadaan. Kepolisian terus menggelar patroli terutama malam hari. Mobil patroli ditempatkan di beberapa titik yang dianggap rawan. Dua ratus mobil dengan 400 personil disebar di seluruh kota.

Warga tak berani keluar malam kalau tidak terpaksa. Lampu-lampu jalan yang sempat dipadamkan demi menghemat listrik kembali dinyalakan. Kota kembali terang benderang meski sepi merajai. Suasana empuk bagi kelompok bandit untuk kembali beraksi. Pusat perniagaan kota menjadi sasaran kelompok bandit berikutnya.

Delapan bandit melaju berpasangan dengan empat unit sepeda motor. Menembus udara dingin. Setengah jam berkendara mereka berhenti di sebuah bundaran yang masih memancurkan air. Bergegas turun sambil menembakkan senjata ke pos polisi lalu lintas dan sebuah mobil patroli yang diam di sana.

Tak siap dengan serangan, empat polisi meregang nyawa. Kelompok bandit pergi dengan tenang.

/*/

Jurnalis yang disiagakan meliput serangan kelompok bandit meluncur ke lokasi peristiwa. Jurnalis televisi, radio, dan situs berita langsung melaporkan kejadian tersebut ke seluruh negeri. Jurnalis harian pagi sibuk mengumpulkan data yang benar-benar akurat agar tetap punya nilai jual saat terbit.

“Tiga jam lagi kita serang Titik Kulminasi 5,” sebut Pemimpin Bandit di persembunyian mereka.

Para anggotanya mengangguk sambil mata tetap menatap pada pesawat televisi 14 inci. Semua saluran menyiarkan berita serupa. Kelompok bandit tersenyum dan saling mengucapkan selamat satu sama lain.

“Serangan ini juga menewaskan seorang pengendara motor,” sebut penyiar televisi. Bandit diam. Serentak menyimak laporan langsung reporter dari lokasi peristiwa.

“Siapa yang menembak dia?,” tanya Pemimpin dengan suara tertahan menahan geram. Dipandangi delapan wajah anggotanya bergiliran.

“Saya,” jawab Jangkung.

“Bodoh. Kenapa? Kau tidak ditugaskan membunuh selain para antek neraka itu.”

“Karena dia pemuja setan,” Jangkung menunjuk layar televisi, “Lihat, Pemimpin, dia memakai jaket Manchester United. Kita semua tahu bahwa Manchester United adalah setan merah. Lihat gambar setan di lambang tim itu. Pemakai jaket ini tak berbeda dengan para antek neraka itu.”

“Setelah serangan Titik Kulminasi 5, kau harus memisahkan diri. Cari tahu dimana lelaki itu tinggal. Dan kau harus meminta maaf kepada keluarganya,” perintah Pemimpin.

“Tapi, Pemimpin. Bagaimana saya menjelaskan kepada keluarganya? Saya bisa tertangkap dan dihakimi massa. Kalaupun saya berhasil diamankan, tentu saya akan disidangkan. Jaringan kita bisa terbongkar,” Jangkung kecut.

“Kau sudah dilatih untuk menghadapi kondisi seperti itu,” tegas Pemimpin kepada Jangkung. “Kalian semua sudah dilatih menghadapi setiap kondisi sulit yang membahayakan perjuangan kita,” seru Pemimpin lagi kepada seluruh anggotanya yang kemudian serentak meneriakkan sesuatu.

/*/

Kematian seorang pengendara motor oleh kelompok bandit memunculkan ragam spekulasi. Media massa menyebut bahwa pengendara motor itu seorang mahasiwa. Aktif di pergerakan kampus dan rajin menggalang demonstrasi menentang kebijakan pemerintah.

“Dari berbagai kejadian yang meneror kita akhir-akhir ini, ini adalah konspirasi penguasa,” analisa Pakar Intelijen yang tengah laris melalui layar kaca.

Lawan Pakar Intelijen, Pakar Hukum, yang kecanduan popularitas memanfaatkan analisa itu sebagai pintu masuk kanal-kanal televisi. “Tidak mungkin ini konspirasi. Penembakan terhadap mahasiswa ini hanya kebetulan. Kelompok bandit mungkin menganggap ia saksi mata,” papar Pakar Hukum di stasiun televisi lain.

Pakar Hukum begitu bersemangat. “Kalaupun penembakan mahasiswa ini konspirasi, saya kira tidak masalah juga. Anda tahu kalau si mahasiswa ini sangat ekstrem membakar massa aksi menentang pemerintah?”

“Maksud Anda?”

“Dari rekaman-rekaman orasinya yang berhasil saya dapatkan, si mahasiswa ini selalu menggunakan jargon-jargon Marxisme dan komunisme.”

“Jadi, kalaupun konspirasi, ini sah-sah saja menurut Anda?”

“Ya.”

“Komentar-komentar Anda terhadap pemerintah sepertinya berubah. Biasa Anda kritis, tapi kali ini….”

“Oh, tidak. Tugas saya adalah menganalisa secara objektif. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kritik saya terhadap pemerintah seperti yang selama ini saya lakukan,” sanggah Pakar Hukum.

“Bukan karena desas-desus yang beredar di kalangan jurnalis bahwa Anda akan diangkat sebagai…?,”

“Oh, tidak. Seperti yang saya katakan bahwa saya menganalisa sesuatu secara objektif. Sesuai dengan latar belakang keilmuan dan kepakaran saya. Ini tidak ada hubungannya dengan desas-desus yang menyebut saya akan diangkat sebagai Jaksa Agung,” bantah Pakar Hukum.

“Berarti desas-desus itu benar?,”

“Saya tidak tahu itu.”

Opini publik yang sempat mengarah kepada analisanya kembali mengamini analisa Pakar Intelijen. Reaksi atas analisa Pakar Intelijen muncul. Mahasiswa dan penggiat gerakan perubahan di seluruh kota menggelar demonstrasi.

Serangan kelompok bandit atas markas polisi lain yang berselang tiga jam dari serangan pertama tercuri dari perhatian. Hasil pertandingan Liga Champions Eropa tak lagi menarik. Begitu pula pertunjukan musik rock tiga hari tiga malam yang digelar satu produsen rokok. Apalagi studi banding anggota legislatif ke luar negeri.

Kota penuh demonstrasi. Suara tuntutan pembubaran organisasi ini dan organisasi itu menjalari negeri. Tak ingin Peristiwa Mei terulang, Wali Negeri mencoba menenangkan massa. Apa daya, tuntutan berubah menjadi: Turunkan Wali Negeri.

Aparat tidak tinggal diam. Mahasiswa dan gerakan perubahan menjadi sasaran moncong tank. Harus diredam dan dibungkam. Meski yang harus dihadapi lebih banyak dibandingkan 12 tahun lalu. Agar tahta tak digoyahkan. Kelompok bandit terabaikan.

/*/

“Atas tindakan tepat Jangkung, ia dianugerahi kenaikan pangkat,” ucap Pemimpin Besar di depan satu kompi pasukan bandit di tengah hutan di kaki gunung yang dipenuhi mitos angker.

“Kita tidak boleh berkompromi dengan setan merah, setan biru, setan kuning, setan hijau. Juga dengan para pemujanya. Ingat garis perjuangan kita,” seru Pemimpin Besar berapi-api.

Pasukan bandit serentak meneriakkan sesuatu. Lantas bernyanyi. Dan teratur menuruni jalan setapak yang telah dikuasai luar kepala sehingga gelap tak berarti apa-apa. Mereka menuju kota secara terpisah. Mereka kembali kepada kehidupan di balik perilaku bandit.

Menjadi suami dan ayah. Menjadi buruh pabrik, buruh tani, office boy, pedagang asongan, pemulung, pengamen, supir angkot, tukang becak, tukang jahit, tukang ojek, tukang parkir. Menjadi orang baik-baik tanpa noda. Sampai serangan berikutnya kembali direncanakan. Usai gorogoro yang tak lagi mereka percayai sebagai tanda kedatangan Ratu Adil.

Huru-hara bukan awal kehidupan baru seperti yang dulu mereka yakini. Mereka tetap miskin dan terpinggirkan. Terabaikan dari peruntukan anggaran pendapatan dan belanja negara. Pergantian rezim tak membuat mereka sejahtera. Semua hanya sandiwara seperti yang diperankan Olga Syahputra.

/*/

Di permukiman kumuh tepi sungai keruh Jangkung gelisah di atas tempat tidur beralas kapuk busuk. Tubuhnya tak bisa diam. Berputar ke kiri dan ke kanan. Matanya sulit dipejamkan. Sesekali ia menghela nafas panjang.

Istrinya yang mengetahui kegelisahan itu bertanya.

“Pangkatku cuma dinaikkan satu tingkat,” keluh Jangkung.

“Pangkat?”

“Ah, bukan apa-apa, Dek,” Jangkung gugup. (*)

PS Tuan, September 2010
Oleh: https://www.facebook.com/bonoemiry